Sementara itu, kawasan HPK seluas sekitar 14.000 hektare meliputi beberapa wilayah di Kecamatan Pancung Soal dan Basa Ampek Balai Tapan, yang berbatasan dengan lahan HGU PT Incasi Raya Grup.
Kamil Indra menekankan bahwa meskipun kawasan ini kini menjadi hutan lindung dan HPK, masyarakat tidak pernah menerima informasi atau peringatan terkait status tersebut, baik berupa tanda batas ataupun plang yang mengidentifikasi kawasan hutan.
“Sosialisasi baru dilakukan pada tahun 2021, 20 tahun setelah masyarakat mulai menggarap lahan tersebut,” ungkapnya.
“Sejak itu, pihak Kehutanan dan Polda Sumbar sering melakukan razia, dan banyak yang diproses hukum,” sambung Kamil.
Pada tahun 2022, ninik mamak Inderapura mengajukan sanggahan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) serta Polri terkait perubahan status tanah ulayat tersebut.
Namun, pada Februari 2025, razia kembali dilakukan, dan tiga warga Inderapura ditetapkan sebagai tersangka pada 15 Maret 2024.
Dalam pertemuan tersebut, Kamil Indra mengungkapkan harapan masyarakat Inderapura agar status kawasan hutan HPK dan hutan lindung dikembalikan menjadi tanah ulayat nagari.Mereka juga berharap agar tiga warga yang menjadi tersangka dibebaskan dari jeratan hukum dan bahwa tidak ada lagi razia yang dilakukan selama penyelesaian masalah ini.
Kepala ATR/BPN Sumbar, Teddi Guspriadi, yang turut hadir dalam pertemuan tersebut, menyampaikan apresiasi atas kesempatan untuk bertemu langsung dengan Ninik Mamak Inderapura.
Ia juga menegaskan komitmennya untuk memperjuangkan sertifikasi tanah ulayat sesuai dengan prinsip "sako pusako" yang berlaku di Ranah Minang.
Editor : Zaitun Ul Husna