Arogansi Kekuatan Pemblokiran Akses Internet tidak Etis jadi Budaya Kita

×

Arogansi Kekuatan Pemblokiran Akses Internet tidak Etis jadi Budaya Kita

Bagikan berita
Arogansi Kekuatan Pemblokiran Akses Internet tidak Etis jadi Budaya Kita
Arogansi Kekuatan Pemblokiran Akses Internet tidak Etis jadi Budaya Kita

Aksi massa yang tergabung dalam 18 organisasi profesi dan kemasyarakatan menggelar aksi di depan gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) di Jakarta Pusat, Jumat 23 Agustus 2019. Aksi yang bertajuk "Nyalakanlagi" menuntut agar Kemenkominfo membuka akses internet yang telah ditutup sejak Rabu (21/8/2019). Sementara para pengamat menilai pemblokiran Internet untuk Papua tak efektif untuk menangkal hoax. Karena salah satu alasan Menkominfo juga beralasan begitu. Jadi wajar adanya spanduk yang dibentangkan itu bertuliskan tuntutan "Rasisme, Diskriminasi, Ketidakadilan, dan Internet".Spanduk lainnya bertulisan "Blokir Layanan Data Melanggar Hak Warga Negara Untuk Akses Informasi." Koordinator Regional SAFEnet Damar Juniarto mengatakan pemblokiran akses internet merupakan bentuk tindakan diskriminasi dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat Papua.

"Sangat tidak adil dan diskriminatif kalau Papua dan Papua Barat berada pada kegelapan informasi akibat keputusan sepihak pemerintah untuk melakukan throttling sejak hari Senin sampai Selasa. Pada Rabu hingga Jum'at, jaringan internet pun untuk Papua dan sekitarnya masih padam. kata Damar Juniarto saat berorasi di depan gedung Kemenkominfo. (CNN Indonesia, Jum'at 23 Agustus 2019)Massa aksi mulai masuk ke gedung Menkominfo untuk menyerahkan isi somasi dan petisi yang telah ditandatangani delapan ribu orang. Diantara organisasi yang ikut aksi ini adalah SAFEnet, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Amnesty International Indonesia, Yayasan Pusaka, Asia Justice and Rights (AJAR), ELSAM, Protection International Indonesia, YLBHI, LBH Jakarta, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), LBH Pers, Yayasan Satu Keadilan, Federasi KontraS, UNIPA Manokwari, WALHI, Papua Itu Kita, Vivat Indonesia, Greenpeace.

Secara legal formal memang Menkominfo jelas telah melanggar UUD 1945 maupun UUD 2002 yang telah diamanden itu. Bahkan UU No.40 Tahun 1999 Tentang Kebebasan Pers Meski pihak Menkominfo mengklaim hanya ingin membatasi saja dan alasan untuk menangkal hoak, toh telah ada UU ITE.UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers misalnya disusun berdasarkan UUD 1945 pasal 28 wujud kedaulatan rakyat merupakan unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam pasal 28 UUD 1945 harus dijamin. Padahal dalam ketentuan pidana (Bab VIII)  mengatakan (ayat 1) bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.0000 (lima ratus juta rupiah). Karena untuk memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki  yang diperlukan  untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

UU No.11 Tahun 2008 atau ITE, UU ini memiliki yurisdiksi yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur didalam UU ini.Pemblokiran jaringan data Telkom Group di Provinsi Papua juga berimbas pada berbagai sektor perekonomian. Proses lelang fisik pun terhambat. (Epicentrum.id, 26 Agustus 2019). Sementara semangat dari UU ITE tujuannya untuk menjaga pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia; mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat; meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik; membuka seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan  pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; bahkan untuk memberikan rasa aman, keadilan serta kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara teknologi informasi.

Baca juga:

Kecuali itu sepatutnya pemerintah sendiri cq Kemenkominfo selayaknya tidak bersikap arogan karena berkewajiban mendukung pengembangan teknologi informasi melalui infrastruktur hukum dan pengaturannya, sehingga pemanfaatan teknologi informasi bisa dilakukan aman dan mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat.Begitulah kebijakan pejabat publik Menkominfo, Rudiantara yang telah merugikan berbagai pihak, bukan saja masyarakat umum yang kini banyak menggunakan media sosial, tetapi juga para pelaku ekonomi dan usaha jasa pun terdampak oleh imbasnya. Padahal untuk menghadapi berita hoax dan berita buruk yang tidak seirama dengan etika dan moral ketimuran kita, bisa diredam dengan ancaman UU UTE mulai dari yang paling ringan seperti peringatan dan penindakan atau penangkapan. Toh, semua cukup jelas ada aturan dan sanksi hukumnya. Karena jalan pintas seperti melakukan pemblokiran jadi terkesan arogan, karena jelas sikap semacam itu cuma bisa dilakukan dengan cara kekuasaan, bukan cara yang lebih beretika dan berbudaya untuk mendidik serta membangun tata bermasyarakat yang lebih baik dan lebih beradab. Sebab prilaku pemblokiran serupa ini sudah yang kedua kali dilakukan Menkominfo dalam tenggang waktu yang tidak begitu lama seusai Pemilu dan Pilpres yang dilakukan secara serentak pada tahun 2019 ini juga.

Sumber : Jacob EresteEditor : AmBaR

Editor : Siti Rahmadani Hanifah
Sumber : 61264
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Terkini